Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, yaitu hak menerima mahar. Dalam beberapa nash sudah jelas bahwa hak seorang istri harus diberikan dan ini merupakan pemberian yang wajib bagi seorang suami yang hendak menikahi seorang istri, akan tetapi dalam pemberian mahar tidak serta ditentukan dalam jumlah yang tertentu. Hal demikian suatu hal yang harus diperhatikan pada zaman saat ini dalam hal mahar, oleh karenanya banyak laki-laki yang dipersulit dalam melaksanakan pernikahan dikarenakan tidak mengetahui aturan Islam dalam hal mahar yang sebenarnya.

Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Mahar/Mas kawin:

  1. Al Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 4 :

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ : 4)

 

  1. Al Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 20 :

Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisaa’ : 20)

 

  1. Al Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 21 :

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’ : 21)

 

  1. Al Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 34 :

Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…..”. (QS. An-Nisaa’ : 34)

 

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa memberikan mahar kepada para istri merupakan pemberian wajib, bukan sebagai pembelian atau sebagai ganti rugi. Dan kemudian apabila istri telah menerima maharnya dengan tanpa paksaan ataupun tipu muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya kepada suami maka bagi suami tersebut diperbolehkan menerimanya. Apabila sang istri ketika akan memberikan mahar tersebut karena malu atau takut pada suaminya maka bagi suami tidak halal untuk menerimanya.

 

Hadits Nabi Saw Tentang Mahar/Mas Kawin:

  1. Hadits Rasulullah Saw dari Amir bin Rabi’ah.

“dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan bani fazarah dinikahkan dengan sepasang sandal. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : “Apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal ? jawabnya: “Ya” lalu Nabi membolehkannya.” ( HR. Ibnu Majah dan turmudzi).

 

  1. Hadits Rasulullah Saw dari Aisyah.

“dari Aisyah bahwa Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling mudak maharnya” dan sabdanya pula “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya serta baik akhlaknya sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.”

 

  1. Hadits Rasulullah Saw dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abas meriwayatkan “bahwa Nabi Saw melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya : “Saya tidak punya apa-apa” Maka Rasulullah bersabda : “Dimanakah baju besi (hutaniyah) mu ?” lalu berikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR. Abu Daud, Nasaa’I dan Hakim dan disahkan olehnya).

 

Para fuqaha’ sepakat bahwa memberi mahar hukumnya wajib dan tidak boleh diadakan kesepakatan untuk meniadakannya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 4. Beberapa hadits yang menjelaskan kewajiban memberi mahar, di antaranya hadits yang berasal dari Sahl bin Sa’d riwayat Imam Bukhari:

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Abi Hazim dari Sahl bin Sa’d, Rasulullah bersabda,‘Carilah mahar meskipun cincin dari besi.’ (HR. Al Bukhari).

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata tatkala Ali mengawini Fatimah, maka Rasul bersabda kepadanya,”Berilah Fatimah sesuatu.” Ali menjawab, ”Saya tidak mempunyai sesuatu.” Lalu Nabi bertanya, ”Mana baju besi Huthamiyahmu?” (HR. Abu Daud, An Nasa’i dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Al Hakim)

 

Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad nikah, mahar itu ada 2 macam yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).

  1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan, dan hal inilah yang disunnahkan dalam akad nikah karena Rasulullah tidak pernah melakukan akad nikah kecuali dengan mahar musamma dan agar terhindar dari perselisihan di kemudian hari 20. Selanjutnya merupakan kewajiban suami untuk membayar mahar musamma selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan. Suami wajib membayar mahar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad nikah itu.

  1. Mahar Mitsl

Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang akan diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsl. Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsl itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudarinya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya dan masanya dengan calon istri yang akan menerima mahar tersebut. Senada dengan pendapat di atas, ulama Syafi’iyah juga berpendapat mahar mitsl adalah mahar yang pernah diterima saudari kandungnya lalu saudari sebapak lalu anak perempuan dari saudara kandung (keponakan sekandung)

Mengenai besarnya mahar, para fuqaha' sepakat bahwa tidak ada batas maksimal mahar. Sedangkan tentang batas minimal mahar, mereka berbeda pendapat dalam dua kelompok:

  1. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10 (sepuluh) dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan wajib digenapkan hingga bernilai 10 dirham, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan hadd terhadap pencurinya. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal mahar adalah 3 dirham perak. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan hadd.
  2. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal mahar dengan arti apapun yang bernilai dapat dijadikan mahar

Mahar yang dimaksudkan diatas ini hukumnya wajib diberikan kepada istri agar supaya menjadikan istri senang dan ridha atas pemberian suami terhadap dirinya. Bukan hanya itu, akan tetapi mahar juga diberikan supaya memperkuat hubungan serta menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai.

Oleh karena itu menurutnya dalam menyerahkan mahar berdasarkan kemampuannya masing-masing, atau keadaaan dan tradisi keluarganya. Semua nash yang menjelaskan tentang mahar ini menunjukan atas pentingnya nilai mahar bukan pada besar kecilnya jumlah mahar, jadi boleh saja memberi mahar dengan cincin besi, segantang kurma atau bahkan dengan beberapa ayat Al-Qur’an. Yang terpenting sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

Kepala KUA

Kepala KUA
ISA MUSTOFA. S.Pd.I.

BANNER

SimwasBanner Haji

POLLING

Seberapa puas anda dengan pelayanan kami?
  Sangat Puas
  Puas
  Cukup Puas
  Tidak Puas
  Sangat Tidak Puas